Selasa, 07 Desember 2010

PENYUSUTAN PERANAN PEMERINTAH


Akhir-akhir ini pemerintah Indonesia tengah gencar menghadapi protes keras dari segenap masyarakatnya. Para mahasiswa, buruh, kaum miskin, aktivis-aktivis perempuan dan yang lainnya, secara bergiliran menghujani pemerintah dengan protes keras, sebagai tanda ketidakpuasan mereka terhadap kebijakan pemerintah. Pemerintah Indonesia berada pada posisi yang rawan.
            Indikasi di atas mengingatkan kita pada peristiwa kerusuhan Mei 1998, dimana masyarakat, terlebih-lebih mahasiswa, melakukan aksi demo terhadap pemerintah, meminta agar reformasi segera ditegakkan dan menggusur Soeharto dar kursi presiden Indonesia.
            Tampaknya pascakrisis Mei 1998, perekonomian Indonesia belum juga pulih sepenuhnya dari krisis tersebut. Masih banyak aspek-aspek yang belum dibenahi atau dengan kata lain tidak jauh berbeda dengan masa Orde Baru. Dalam bidang ekonomi, setidaknya ada dua hal yang masih belum dibenahi oleh pemerintah. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh investasi, baik dari dalam maupun luar negeri. Kedua, pemerataan hasil pertumbuhan ekonomi, yang diwujudkan dalam bentuk ketersediaan barang yang terjangkau oleh kalangan manapun dan terciptanya lapangan kerja yang luas.
            Dua hal diatas belum kita rasakan pada masa pemerintahan SBY-BOEDIONO. Padahal dua hal diatas telah diterapkan pada zaman Orde Baru, bersamaan dengan stabilitas politik dan trilogi pembangunan.
            Situasi perekonomian saat ini tidak terlepas dari perubahan-perubahan akibat krisis multidimensi saat menjelang reformasi Mei 1998. Krisis tersebut telah mengubah peran pemerintah dan proporsi kekuatannya dengan sektor swasta, masyarakat sipil, dan dunia internasional.
            Pada era Orde Baru, pemerintah memiliki kekuatan yang tak tertandingi dibandingkan dengan kekuatan-kekuatan lain di dalam negeri. Bersamaan dengan itu, dunia internasional mendukung secara eksplisit, termasuk dalam pembiaran korupsi besar-besaran yang berasal dari pinjaman luar negeri.
            Bentuk politik ekonomi Indonesia selama 32 tahun era Orde Baru, ialah kapitalisme-otoritarian. Perusahaan-perusahaan besar sebagai motor penggerak perekonomian berkembang sebagai anak emas Soeharto dan kroni-kroninya. Sehingga usaha-usaha kecil dan menengah sulit untuk berkembang.
            Hasil yang didapat ialah kecenderungan dua hal. Pertama, kuat dan luasnya peran pemerintah dibandingkan pengaruh manapun. Satu hal yang positif, pemerintah punya kekuatan dan ruang untuk menentukan pemenuhan kebutuhan masyarakat dan merencanakan pembangunan jangka panjang. Sehingga secara agak subyektif menentukan sendiri kebijakan-kebijaka untuk rakyatnya. Akan tetapi di sisi lain pemerintah menjadi kekuatan yang otoriter dan penuh dengan KKN.
            Akhirnya sampai pada krisis ekonomi 1998 yang dipicu krisis keuangan regional. Akibatnya, mau tak mau Indonesia harus berubah. Terjadi penyusutan peran pemerintah, yang disebabkan karena dua hal, Pertama, Krisis multidimensional yang terjadi karena kejenuhan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Orde Baru, dituntut untuk membuat suatu sistem yang tidak mengedepankan peranan pemerintah secara mutlak, tetapi lebih diserahkan pada rumah tangga daerah-daerah tersendiri, atau apa yang sering kita sebut sebagai Desentralisasi. Kedua, dilakukannya privatisasi dan liberalisasi terhadap sektor-sektor BUMN. Hal ini tiak lepas dari perintah IMF dalam perekomendasian kebijakan tersebut, yang hanya menguntungkan pihak asing dengan meminggirkan kepentingan rakyat pada umumnya.
            Pergeseran peranan ini diharapkan untuk dapat memperbaiki kesejahteraan. Semestinya, masyarakat mempunyai daya tawar yang lebih kuat dibandingkan pemerintah, sehingga menghasilkan pemerintahan yang bersih, serta kebijakan-kebijakan yang dibuat berpihak pada rakyat.
            Kenyataannya,  demokrasi yang terbentuk lebih kepada keseimbangan baru antarelite politik, seperti tercermin dalam pembagian komposisi kabinet pascareformasi yang lebih berdasarkan pada “kawan politik”, dibandingkan dengan prinsip the right man on the right place. Walaupujn demikian hal-hal positif juga ditemukan seperti kebebasan pers dan penjaminan HAM, dan yang lainnya.
            Akan tetapi, pada sistem ekonomi, sistem kapitalisme yang diterapkan menjadi tidak terkontrol dan sulit dikendalikan oleh pemerintah. Sekarang keadaan menjadi terbalik, pemerintah dikendalikan oleh sektor swasta hingga mencapai sektor-sektor vital seperi pendidikan dan kesehatan.
            Pemerintah sekarang terlihat kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya serta membuat kebijakan yang berpihak pada mereka. Kita melihat pemerintah tak berdaya mengendalikan kenaikan harga BBM. Hal yang sama terjadi dalam pengendalian harga beras, telur, kedelai dan kebutuhan pokok lainnya.
            Saat ini yang seharusnya menjadi perhatian adalah nasib masyarakat pada umumnya. Elite politik, masyarakat sipil, dan sektor swasta harus mau duduk bersama dengan menjadikan kepentingan rakyat banyak sebagai perhatian utama. Kita tidak punya pilihan lain dan waktu yang banyak untuk menjalankannya.

Senin, 06 Desember 2010

TANTANGAN PENDIDIKAN KARAKTER DI MASA DEPAN


Kehidupan di era globalisasi seperti saat ini telah menjadikan dunia begitu cepat berubah. Berbagai penemuan di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan yang bertubi-tubi membuat laju dunia menjadi tak terbendung. Namun seiring dengan berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan, kerusakan bumi pun mencapai tingkat yang mengejutkan. Situasi yang saling kontradiktif dan tidak tertebak ini membuat orang sulit untuk membayangkan kehidupan seperti apa yang akan dihadapi di masa mendatang. Ada bahaya besar yang akan mengancam generasi mendatang, yaitu antara lain: ancaman akan tersingkirkan jika tidak mampu bersaing dalam persaingan global, ancaman akan menjadi robot-robot pesanan dunia jika tidak mampu mengembangkan potensinya dalam kebebasannya, ancaman akan kehilangan dunia tempat tinggalnya jika tidak mampu mengelolanya dengan baik dan tepat sesuai dengan visi kemanusiaan.
Di dalam konteks kalangan universitas pun akan muncul berbagai persoalan dan tantangan yang harus dihadapi, antara lain: persaingan dalam rangka memperoleh mahasiswa seiring dengan meningkatnya kuantitas dan kualitas universitas-universitas di Indonesia. Tentu saja semangat yang dikedepankan dalam persaingan ini bukan dilekatkan pada universitas, melainkan pada mahasiswa sendiri. Universitas berkeyakinan bahwa mahasiswa berhak mendapatkan kualitas pendidikan yang terbaik. Persaingan dengan universitas-universitas lainnya dipandang sebagai dorongan untuk memotivasi setiap unsur di dalam universitas tersebut untuk memberikan yang terbaik. Dalam menghadapi persaingan global, universitas tidak lagi bersaing dengan ‘pesaing’ lokal, tetapi dengan pesaing dari negara bahkan belahan bumi yang lain. Isu mengenai perdagangan bebas dengan China yang marak dibicarakan beberapa waktu belakangan ini harus dianggap sebagai peringatan bahwa situasi ke depan dapat berkembang ke arah kebijakan perdagangan bebas yang jauh lebih menantang dan ‘mengancam’.
Pemahaman mengenai pentingnya prestasi akademis memang tidak perlu disingkirkan. Dalam persaingan global, kemampuan akademis menjadi salah satu bekal penting yang harus dimiliki oleh para lulusan. Namun melalui pendidikan karakter, pencapaian yang diharapkan adalah melampaui prestasi akademik. Dalam buku The Leader in Me, dengan mengutip buku “good to great” karya Jim Collins, Stephen Covey mencoba menggambarkan bahwa kemampuan dan keterampilan praktis memang penting namun dapat dipelajari.
Sedangkan dimensi karakter, etos kerja, kecerdasan dasar, dedikasi pada komitmen dan nilai merupakan suatu hal yang lebih mendalam. Covey bahkan mengutip pendapat seorang pebisnis yang mengatakan bahwa ”keterampilan adalah alasan untuk mewawancarai seseorang. Namun, alasan untuk merekrut orang adalah karakter mereka.” (Covey : 40) dengan program-program unggulan yang ditawarkan oleh tiap-tiap kompleks universitas, program-program tersebut tentu tidak perlu diganti menjadi program-program yang ‘bernuansa’ karakter. Artinya, ‘jenis’ program dan kegiatan yang dilakukan tetap sama. Hanya perbedaannya terletak pada penekanan yang diberikan.
Sejak tahun 1990-an, terminologi pendidikan karakter mulai ramai dibicarakan. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya melalui karya yang sangat memukau, The Retrun of Character Education. Sebuah buku yang menyadarkan dunia barat secara khusus di mana tempat Lickona hidup, dan dunia pendidikan secara umum, bahwa pendidikan karakter adalah sebuah keharusan. Inilah awal kebangkitan pendidikan karakter. Karakter sebagaimana didefinisikan oleh Ryan dan Bohlin, mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Dalam pendidikan karakter, kebaikan itu seringkali dirangkum dalam sederet sifat-sifat baik. Dengan demikian, pendidikan karakter adalah sebuah upaya untuk membimbing perilaku manusia menuju standar-standar baku. Upaya ini juga memberi jalan untuk menghargai persepsi dan nilai-nilai pribadi yang ditampilkan di sekolah. Fokus pendidikan karakter adalah pada tujuan-tujuan etika, tetapi prakteknya meliputi penguatan kecakapan-kecakapan yang penting yang mencakup perkembangan sosial peserta didik (Suprapto, 2007).
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, seseorang akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan seseorang untuk menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis (Russell T. William & Ratna Megawangi, 2007).
Dalam kerangka Pendidikan Karakter, cita-cita dan masa depan mahasiswa menjadi penting dan mendesak untuk diberi tempat dalam proses pembelajaran yang dilakukan. Prestasi akademis memang patut diperjuangkan dan juga dibanggakan, namun dengan syarat bahwa prestasi akademik tersebut membawa dampak positif bagi kehidupan umat manusia. Ini ibarat penemuan pesawat penumpang tercanggih yang dapat mendarat di matahari. Pesawat tersebut hanya dapat ditempatkan di museum untuk ditonton dan dikagumi saja. Manfaatnya tidak ada, karena saat ini tidak ada orang yang berencana untuk pergi ke matahari. Perkembangan ilmu pengetahuan memang harus dimaksudkan untuk menolong kehidupan umat manusia. Penemuan apapun tidak akan ada manfaatnya jika tidak bertujuan untuk memajukan kehidupan umat manusia. Bahkan beberapa kasus yang terjadi beberapa waktu belakangan ini serta beberapa penelitan yang dilakukan memperlihatkan pemanfaatan teknologi dan ilmu pengetahuan yang justru mengarah pada penghancuran kehidupan manusia. Berbagai ancaman gerakan teroris, pemanfaatan nuklir sebagai senjata penghancur, pemakaian mesin-mesin dengan emisi tinggi, pemakaian freon secara berlebihan, limbah serta sampah anorganik yang tidak dapat didaur ulang. Kepincangan dalam dunia pendidikan kita membuat kemajuan teknologi dan pengetahuan segera diiringi oleh berkembang pesatnya krisis di berbagai bidang kehidupan. Ironisnya, manusia masih terus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa pernah mampu menjawab berbagai krisis tersebut. Manusia zaman ini sepertinya lupa bahwa beberapa dekade ke depan masih akan ada generasi berikutnya yang akan hidup di bumi yang sama. Ini berkaitan dengan visi dan misi untuk berbagi, tidak hanya berbagi dengan sesama pada zaman ini, tetapi juga berbagi dengan sesama pada zaman berikutnya.
Prestasi akademis, dengan demikian, akan diberikan acungan jempol tatkala orang lain dapat turut merasakan manfaat dari prestasi tersebut. Banyak hal yang dapat dikedepankan saat seseorang meraih prestasi akademis. Kisah perjuangannya tentu dapat menjadi suatu pembelajaran yang akan memotivasi orang lain.
Menurut Doni Koesoema, dalam mengimplementasikan pendidikan karakter di universitas kiranya metodologi yang dipergunakan harus memiliki unsur-unsur antara lain: pengajaran nilai tertentu, keteladanan, pembangunan budaya yang kondusif, serta refleksi/evaluasi.
Namun kunci utamanya adalah penghargaan atas kebebasan serta keberagaman, dimana ruang interaksi tercipta sehingga proses pembelajaran tidak terjebak menjadi suatu indoktrinasi nilai. Dalam suasana keterbukaan tersebut, kesediaan untuk mengevaluasi diri serta mengembangkan diri harus dimiliki oleh setiap individu. Usaha sekecil apapun dalam kerangka proses itu pun harus dihargai. Dalam suasana seperti ini niscaya pendidikan karakter dapat berjalan menuju arah yang diharapkan bersama.
Semoga pendidikan karakter tidak berhenti hanya wacana.. Banyak yang dihasilkan perguruan tinggi, oleh sekolah-sekolah kejuruan, oleh balai-balai latihan kerja, tidak selalu sesuai dengan yang diminta pasar tenaga kerja. Lagi-lagi hanya soal pekerjaan, lalu di mana pendidikan karakter? Who knows?

MEMUDARNYA NASIONALISME BANGSA INDONESIA


Isu memudarnya nasionalisme yang dialami bangsa Indonesia menjadi masalah yang perlu diperhatikan karena isu ini menyangkut masalah yang urgen bagi ketahanan bangsa ini. Seperti yang telah diketahui, nasionalisme yang dimiliki oleh bangsa ini semakin memudar, jika dibandingkan dengan zaman dahulu, dimana negara ini masih dijajah oleh bangsa asing.
            Perbedaan kadar nasionalisme tersebut lebih disebabkan karena masalah atau standar yang dijadikan nasionalis atau tidaknya bangsa ini telah berbeda. Jika dahulu bangsa indonesia dikatakan memiliki nasionalisme yang tinggi dikarenakan kesediaannya membela bangsa dan negara dari penjajah dengan mengorbankan harta dan jiwa mereka. Akan tetapi, saat sekarang ini dimana bangsa kita sudah merdeka, maka bangsa Indonesia dikatakan berjiwa nasionalisme tinggi agaknya lebih disebabkan jika mereka memiliki suatu sikap untuk memerangi semua bentuk penyelewengan, ketidakadilan, dan semua tindakan yang merusak tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
            Memudarnya nasionalisme bangsa ini dapat disebabkan oleh beberapa hal. Akan tetapi, penyebab yang paling utama yaitu semakin terpengaruhnya warga negara ini ke dalam arus globalisasi. Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia. (Edison A. Jamli: 2005)
Menurut pendapat Krsna (, sebagai proses, globalisasi berlangsung melalui dua dimensi dalam interaksi antar bangsa, yaitu dimensi ruang dan waktu. Ruang makin dipersempit dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi pada skala dunia. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain- lain.
Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi, ideologi, sosial budaya dan lain-lain akan mempengaruhi nilai-nilai nasionalisme terhadap bangsa.
Salah satu paham yang dibawa globalisme yaitu liberalisme. Liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama (Wikipedia). Dari paham liberalisme di atas timbul suatu sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku sesama warga. Dengan adanya sikap tersebut, akan mengurangi atau bahkan menghambat seorang warga negara untuk peduli terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam globalisasi ekonomi, masuknya pengaruh produk-produk luar negeri seperti Mc Donald, Pepsi, Coca-cola, dan sebagainya, membuat produk dalam negeri terpinggirkan, sehingga rasa cinta produk dalam negeri menjadi berkurang. Selain itu, adanya globalisme ekonomi, yang tercermin dalam pasar persaingan bebas, membuat kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin menjadi semakin lebar. Hal tersebut dapat memicu konflik antara si kaya dan si miskin dan akhirnya juga mengganggu kehidupan bermasyarakat bangsa Indonesia.
Dalam hal budaya, masyarakat kita, khususnya anak muda yang rentan terhadap kebudayaan barat, akan terpengaruh gaya hidup mereka menjadi kebarat-baratan. Banyak dari mereka yang lupa diri sebagai bangsa Indonesia, karena mereka telah meniru bangsa kehidupan bangsa barat yang mereka anggap sebagai kiblat.
            Berdasarkan uraian di atas maka menurut penulis ada beberapa langkah yang dapat menumbuhkan nasionalisme dalam negara ini: pertama, perlu adanya perwujudan supremasi hukum, penerapan dan penegakkan hukum sadil-adilnya tanpa pandang bulu. Dengan begitu tidak ada pihak yang merasa dirugikan dalam penegakan proses penegakkan hukum tersebut yang dapat menimbulkan kesenjangan sosial dan pertentangan sehingga dapat mengancam persatuan dan kesatuan negara ini. Kedua, dengan menanamkan dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila denga sebaik-baiknya. Hal ini tentu dapat membuat warga negara ini dapat mengerti bagaimana menjadi warga negara yang baik menurut dasar hukum kita, yaitu Pancasila. Ketiga, dengan menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, semisal semangat mencintai produk dalam negeri. Dengan mendidik hal-hal sederhana tersebut dapat memupuk secara perlahan-lahan jiwa nasionalisme dan patriotisme warga negara ini. Keempat, selektif terhadap pengaruh-pengaruh globalisasi di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya bangsa. Masyarakat hendaknya secermat mungkin menyaring semua pengaruh yang masuk, dengan tetap berpegang teguh terhadap nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia yang sesuai dengan Pancasila.
            Dengan adanya langkah-langkah tersebut maka diharapkan kita sedapat mungkin menghindari pengaruh-pengaruh yang dapat memudarkan nilai-nilai nasionalisme kita terhadap tanah air yang tercinta ini.
Daftar Pustaka:

    Rasjid Ryaas. 1998. Nasionalisme dan demokrasi Indonesia.Jakarta

    Yudohusodo, Siswono. 1995. Nasionalisme Indonesia dalam era globalisasi.
Yayasan Widya Patria: Jakarta.

Pengaruh Globalisasi Terhadap Pluralisme Kebudayaan Manusia di Negara Berkembang.(internet.public jurnal.september 2005)

MEWUJUDKAN MASYARAKAT MADANI


Masyarakat madani atau civil society merupakan konsep yang memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Secara harfiah, civil society adalah terjemahan dari istilah Latin, civilis societas, yang mula-mula dipakai oleh Cicero (106-43 S.M), seorang pujangga Roma, yang pengertiannya mengacu kepada gejala budaya perorangan dan masyarakat. Menurutnya masyarakat sipil disebut sebagai sebuah masyarakat politik (political society) yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup. Adanya hukum yang mengatur pergaulan antar individu menandai adanya suatu jenis masyarakat tersendiri.
Locke mendefinisikan masyarakat madani sebagai "masyarakat politik" (political society) Dengan istilah yang berbeda-beda, civil society mengalami evolusi pengertian yang berubah dari masa ke masa. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes place outside of government and the market.”
Di zaman pencerahan dan modern, istilah civil society dibahas oleh para filsuf dan tokoh-tokoh ilmu-ilmu sosial seperti Locke, Hobbes, Ferguson, Rousseau, Hegel, Tocquiville, Gramsci, Hebermas, Dahrendorf, Gellner dan di Indonesia dibahas oleh Arief Budiman, Amien Rais, Fransz Magnis Suseso, Ryaas Rasyid, AS. Hikam, Mansour Fakih.
Ciri dari suatu masyarakat sipil menurut Daniel Sparringa, selain terdapatnya tata kehidupan politik yang terikat pada hukum, juga adanya kehidupan ekonomi yang didasarkan pada sistem uang sebagai alat tukar, terjadinya kegiatan tukar menukar atau perdagangan dalam suatu pasar bebas, demikian pula terjadinya perkembangan teknologi yang dipakai untuk mensejahterakan dan memuliakan hidup sebagai ciri dari suatu masyarakat yang telah beradab.
Mewujudkan masyarakat madani adalah membangun suatu masyarakat yang tidak hanya sekedar membangun adab dan tradisi masyarakat lokal, tetapi lebih dari itu adalah membangun masyarakat yang berbudaya agamis sesuai keyakinan individu, masyarakat berbudaya yang saling cinta dan kasih yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan .
Isu tentang masyarakat madani semakin marak akhir-akhir ini seiring dengan bergulirnya proses reformasi di Indonesia. Proses ini ditandai dengan munculnya tuntutan kaum reformis untuk mengganti Orde Baru yang berusaha mempertahankan tatanan masyarakat yang status quo menjadi tatanan masyarakat yang madani.
Untuk mewujudkan masyarakat madani tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Namun, memerlukan proses panjang dan waktu serta menuntut komitmen masing-masing warga negara ini untuk berubah secara total dan konsisten dalam suatu perjuangan yang gigih. Seperti yang kita ketahui, Indonesia adalah negara multietnik dan multikultur. Oleh karena itu adalah tidak mudah untuk menyatukan pandangan dan sikap mereka yang sesuai dengan cita-cita reformasi, yaitu mewujudkan suatu masyarakat madani.
Setelah sepuluh tahun pemerintahan Soeharto tumbang, yang berarti sudah sepuluh tahun agenda reformasi dicanangkan, tatanan negara ini ternyata masih berjalan di tempat. Krisis yang telah menjangkit seakan enggan menjauh.
Indonesia yang tak pernah bisa sepenuhnya bangkit dari hantaman krisis multidimensi di tahun 1997, terus-menerus harus berhadapan dengan krisis politik, keamanan, sosial, dan yang paling akut adalah krisis ekonomi. Sejak berakhirnya era Orde Baru, Indonesia telah mengalami beberapa kali pergantian pemerintahan, namun situasi tak kunjung membaik. Rupanya, reformasi yang dirancang kaum intelektual Indonesia tak cukup kuat untuk membangun sebuah good governance. Periode sepuluh tahun yang berlalu ternyata hanya sia-sia belaka.
Untuk itu, good governance hanya bisa tercipta melalui pemerintahan yang kuat dan terkonsolidasinya masyarakat madani (civil society) sebagai penyeimbang negara. Alhasil, persoalan mendesak yang dihadapi bangsa ini adalah penataan kembali sistem kelembagaan politik, publik, dan sosial kemasyarakatan. Penataan ini harus dibarengi pula dengan pemahaman dan penyatuan pandangan terhadap nilai-nilai religius, etika, dan moral dalam diri setiap warga negara.
Daftar Pustaka:  


    Soetrisno, Loekman.1998. Menuju masyarakat madani: strategi dan agenda reformasi. Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan & Kawasan UGM: Yogyakarta.

   Sparinga, Daniel. 2000. Menyelamatkan Masa Depan Indonesia. Kompas: Jakarta

Minggu, 05 Desember 2010

DARWINISME DALAM EKONOMI


           Hampir satu setengah abad yang lalu Charles Darwin menulis karyanya yang sangat kontroversial, On the Origin of Species by Means of Natural Selection (1859). Dalam karya tersebut Darwin menegaskan bahwa melalui hukum seleksi alam hanya spesies yang paling kuat  untuki bersaing demi kelangsungan hidupnyalah yang akan bertahan hidup. Darwin mungkin tidak akan pernah mengira bahwa hampir satu setengah tahun kemudian, tepatnya di awal abad XXI, muncul suatu pasar global dan suatu revoluksi ilmu pengetahuan dan teknologi akan menghasilkan suatu hukum yang tidak jauh berbeda dengan hukum seleksi alam, yang hanya memberikan kesempatan kepada manusia-manusia, perusahaan-perusahaan dan perekonomian suatu negara yang terkuat untuk dapat bertahan hidup. Dengan hukum yang demikian, mereka yang kurang kompetitif akan terpinggirkan dan akan menjadi spesies yang secara ekonomi tidak cukup kuat.
            Bagi Darwin, dualisme merupakan antitesis antara satu spesies, di satu sisi, dengan lingkungan, di sisi lain. Spesies terus berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan sebagai usaha untuk bertahan hidup. Menurut pemikiran ekonomi neoliberal sekarang, individu harus beradaptasi di dalam suatu lingkungan alamiah, yaitu pasar dunia, agar dapat bertahan hidup. Individu, perusahaan, maupun perekonomian negara yang gagal untuk beradaptasi akan dihukum sebagai suatu spesies yang secara ekonomi telah gagal berkembang.  Hal tersebut sesuai dengan keyakinan bahwa pasar bukanlah ciptaan manusia, melainkan suatu lingkungan alamiah, yang berada di luar kehendak kita, suatu invisible hand, ketiadaan penilaian moral, hukum seleksi alam, yang dapat menghilangkan suatu lapangan pekerjaan, menghancurkan suatu perusahaan, dan membuat perekonomian nasional tidak memiliki kemampuan untuk berkembang. Semua permasalahan akan diselesaikan oleh kekuatan pasar. Kekuatan-kekuatan inilah yang akan menyeleksi setiap orang, perusahaan, maupun perekonomian nasional yang efektif dan efisien, sebagaimana alam menyeleksi di antara spesies yang terkuat, dan menyingkirkan yang lemah.
            Konflik, bagi Darwin, adalah keadaan alam yang di dalamnya semua makhluk hidup berperan sebagai predator. Semua perusahaan dan perekonomian nasional harus juga berperan menjadi predator, berperang dalam kompetisi ekonomi yang paling buas. Hanya predator ekonomi yang paling buas yang dapat berkuasa secara global, dan melipatgandakan keuntungan mereka yang terus meningkat.
            Menurut Darwin, evolusi membuat spesies mengalami perubahan dari bentuknya yang paling primitif menjadi bentuk yang lebih kompleks melalui berbagai tahapan permutasian. Kemampuan untuk bermutasi membuat spesies dalam mencapai kemenangannya atas alam dan akan membuatnya bertahan hidup. Pemikiran ini jugalah yang telah ditransfer ke dalam perekonomian modern. Perusahaan-perusahaan dan perekonomian nasional harus berinovasi dan berkembang untuk dapat mengalahkan lawan-lawannya sebagai suatu entitas ekonomi yang efisien dan memiliki kemampuan berkembang. Perusahaan-perusahaan hanya dapat bereproduksi dan berevolusi melalui transformasi-transformasi teknologi yang juga diperlukan untuk berhasil di pasar global, menghasilkan perputaran keuntungan yang terus meningkat dan kemakmuran.
Perbedaan utama antara darwinisme modern yang berbasis teknologi dengan hukum alam yaitu bahwa hukum alam akan menyingkirkan spesies-spesies yang lemah dan kalah dalam bersaing dalam waktu ratusan hingga ribuan tahun, sedangkan proses seleksi alam masa kini, yang dikendalikan oleh pasar dan teknologi, dapat menyingkirkan yang lemah dalam sekejap. Ribuan orang pekerja dapat kehilangan pekerjaannya dalam hitungan bulan, menyingkirkan perusahaan-perusahaan yang gagal bersaing dalam hitungan tahun, dan menghabiskan paling tidak satu dekade untuk menghancurkan perekonomian negara-negara yang tidak lagi memiliki kemampuan untuk berkembang.

MBOK BAKUL DAN BIROKRASI INDONESIA

Add caption

Dua hari yang lalu, saya mengalami suatu kejadian, yang bisa dibilang biasa, atau tidak terlalu penting: Membeli mie goreng  untuk makan malam saya. Biasa kan? Tapi yang agak tidak biasa adalah: saya mengantri hingga kira-kira 45 menit. Sebuah durasi waktu yang mungkin kurang sepadan bila dibandingkan dengan sepiring mie goreng. Apalagi bila dibandingkan dengan oportunity cost-nya waktu yang terpakai. Bayangkan, 45 menit kawan! Hal ini terjadi karena beberapa sebab: pertama, karena memang mie goreng di situ terkenal lebih enak daripada daerah-daerah sekitarnya. Ini lantas juga tidak menekankan bahwa mie goreng tersebut sangat enak dibandingkan dengan mie goreng manapun, tapi pada dasarnya memang relatif enak. Kedua, karena si penjual (mbok bakul), terkesan kurang cekatan dalam melayani para pembelinya. Ada kesan mbok bakul tidak menganggap bahwa pembeli adalah pihak yang harus diberi pelayanan sebaik mungkin. Pelayanan yang baik bagi para pelanggan adalah salah satu kunci sukses bisnis. Begitulah para pakar manajemen bisnis berteori.
Nah, kawan, jika belum lama ini kawan-kawan melihat berita di televisi atau membaca di surat kabar, bahwa program dari pemerintah tentang pembagian BLT-yang karena antrian dari masyarakat yang ingin mengambilnya luar biasa-sempat menelan korban. Hal ini mencerminkan bahwa ada yang salah dengan pelayanan publik di negeri ini. Mungkin sedikit mirip dengan kasus mbok bakul yang saya ceritakan di awal. Dua-duanya membuat suatu system pelayanan kepada pihak pengguna layanan yang membutuhkan. Tata kelola yang buruk atau bad governance, seperti yang sering didengung-dengungkan ahli politik di negeri ini.
Kawan-kawanku, jika sejenak kita renungkan, memang ada yang salah dengan tata kelola birokrasi yang ada di negeri tercinta ini. Sering kawan-kawan mendengar tentang adanya pelayanan administrasi yang buruk: dari pembuatan surat izin yang berbelit-belit, adanya uang pangkal, sampai kita dengar adanya pelayanan yang kurang profesional dari pegawai pemerintahan. Inilah sedikit dari sekian banyak contoh potret hitam dari birokrasi kita.
Lemahnya tata kelola birokrasi tidak saja menurunkan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi juga secara tidak langsung telah banyak memakan korban jiwa. Akibat buruknya tata kelola birokrasi ini jelas terlihat, seperti tingkat kemiskinan yang relatif masih tinggi, pengangguran, rendahnya kualitas pelayanan publik, serta ketimpangan antar kalangan masyarakat yang semakin nyata di sekitar kita. Kualitas tata kelola birokrasi yang rendah mengakibatkan Indonesia banyak mengalami lost of generation.
Survei Governance Matters yang dilakukan para peneliti Bank Dunia menunjukkan bahwa Indonesia masih menempati posisi yang buruk dari enam dimensi tata kelola yakni kebebasan berpendapat dan akuntabilitas, instabilitas politik dan kerusuhan, efektivitas pemerintahan, tanggung jawab pengawasan, dan kaidah hukum. Tindak korupsi dan lemahnya tata kelola birokrasi bagaikan dua sisi mata uang. Maraknya korupsi merupakan cerminan buruknya tata kelola birokrasi. Sedangkan tata kelola pemerintahan yang buruk merupakan penyebab utama korupsi.
Pemerintahan yang baik yaitu pemerintahan yang memiliki birokrasi yang berkualitas tinggi, yang dapat memberikan jasa layanan publik yang bermutu, dapat mengelola anggaran dengan efektif dan efisien, tepat sasaran dan betul-betul untuk kesejahteraan rakyatnya (Teddy lesmana:2007)
Tata kelola birokrasi yang baik dicerminkan oleh Pelayanan publik yang transparan akuntabel, partisipasif dan berkesetaraan (Teddy lesmana:2007)
Sekarang coba kawan-kawan berlogika sejenak. Esensi dari negara demokratis adalah kedaulatan negara berada di tangan rakyat. Jadi pemerintah hanyalah manusia-manusia yang dipekerjakan oleh rakyat, yang diberi mandat untuk melayani mereka: mengelola keuangan negara, yang sumbernya berasal dari pajak rakyat itu sendiri. Akan tetapi ironisnya yang terjadi adalah pemerintah sering mengkorupsi uang rakyatnya. Hal ini berarti bisa diibaratkan seorang babu yang menghianati dan menipu majikannya sendiri. Suatu fenomena yang sulit diterima.Karena seharusnya pemerintah wajib mempertanggungjawabkan mandat yang telah diberikan oleh mereka kepada sang majikan, yaitu rakyat.
Gambaran di atas mungkin dapat memberikan sedikit gambaran kepada kawan-kawan bagaimana sistem tata kelola pemerintahan kita masih jauh dari harapan. Untuk itu mari bersama-sama kita bergerak menuju suatu tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Semakin cepat semakin baik.
Kembali ke mbok bakul, kawan. Mungkin mbok bakul adalah satu dari sekian banyak korban dari bad governance pemerintahan kita. Sehingga mereka pun menjadi suatu turunan yang real dari pemerintahan yang buruk. Semoga kita bukan termasuk orang-orang seperti itu.

PEMERINTAH DAN SIKAP RAKYAT


Sebagian besar rakyat Indonesia telah mengetahui bahwa bangsa Indonesia tengah dihadapkan pada suatu zaman yang lazim disebut “Globalization Era”. Era dimana negara ini dituntut untuk mampu bersaing dengan negara-negara lain di berbagai belahan dunia.
Di era ini juga dituntut untuk tidak tertinggal dengan negara lain. Negara ini diharuskan terus berlari mengikuti negara-negara lain yang sebagian besar telah berada di depan kita.
            Dalam situasi tersebut, perlu adanya suatu kolaborasi yang harmonis antara komponen-komponen bangsa Indonesia untuk bersama-sama bekerja dalam suatu sistem. Baik dari pemerintah yang terdiri atas lembaga dan badan negara maupun rakyat yang terdiri atas organisasi masyarakat dan individu.
            Jika diibaratkan negara ini merupakan suatu keluarga yang sangat besar, dengan pemerintah sebagai orang tua dan rakyat sebagai anaknya. Dalam sebuah keluarga, orang tua selalu berbuat apapun demi yang terbaik untuk anaknya. Baik untuk membesarkan, mendidik, dan sebagainya. Hal tersebut tentunya sesuai dengan makna sistem demokrasi, bahwa kebijakan dilaksanakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
            Namun, tidak semata-mata semuanya adalah kewajiban sang orang tua untuk menjamin kesuksesan seorang anak. Justru anaklah yang berkewajiban untuk menentukan kesuksesannya sendiri. Seorang anak harus giat belajar sebagai kewajiban seorang pelajar. Semua dampak dari apa yang kita lakukan kita sendiri yang akan merasakannya.
            Semua warga negara memiliki hak-hak dan jangan terlupakan pula kewajiban-kewajiban sebagai warga negara untuk ikut serta dalam membangun negara. Tidak hanya  secara langsung sebagai aparatur negara, akan tetapi dapat dilakukan dengan bagaimana kita harus berhati-hati menentukan langkah untuk berpartisipasi memikirkan solusi permasalahan yang sedang menjerat bangsa ini sesuai dengan prosedur yang berlaku.
            Pemerintah sebagai fasilitator pengatur birokrasi pada aspek tertentu. Maka dari itu diperlukan adanya pengembangan mindset dan memperluas cakrawala berpikir rakyat. Individu merupakan bagian terkecil serta pondasi penyusun komponen-komponen subyek kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam diri individu inilah ditanamkan berbagai paradigma sejak lahir hingga dewasa seiring perkembangan di sekitarnya. Pola pikir yang maju akan menciptakan individu yang handal untuk membuat suatu bangsa menjadi maju.
            Untuk itu diperlukan adanya persiapan pada generasi sekarang ini dengan menumbuhkan pola pikirnya seiring perkembangan zaman, yang telah berkembangan dengan percepatan yang semakin tinggi. Diperlukan adanya perubahan cara berpikir yang sudah usang dengan menghilangkan pola pikir pintas dan anarkis. Seringkali kita amati sikap dan respon masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan yang menyulitkan bagi  mereka. Mereka mengambil tindakan pintas dengan berunjuk rasa, pengrusakan-pengrusakan, ancaman bersenjata, dan sebagainya yang sesungguhnya tidak menguntungkan bagi pihak manapun. Mereka selalu menuntut pada pemerintah, tetapi tidak pernah menuntut pada diri mereka sendiri atas apa yang telah mereka perbuat.
            Semangat nasionalisme yang pernah dinyatakan oleh John F Kennedy: “Jangan tanyakan apa yang telah negara berikan padamu, tetapi tanyakan apa yang telah  anda berikan pada negara”. Makna ungkapan ini, agaknya sangat konstektual. Kendati demikian, potret negara ini justru menggambarkan dengan gamblang betapa kesadaran bernegara, kesediaan berkorban demi negara, dan mencintai negara telah mengalami kebangkrutan yang sangat tajam. Sumber Daya Manusia bangsa ini yang terbentuk cenderung memiliki sikap mental dan perilaku yang materialistis, individualis dan pragmatis. Setiap orang hanya cenderung memikirkan kepentingannya sendiri. Cara pandang inilah yang dominan merasuki benak SDM kita dewasa ini.
            Untuk itulah pola pikir tersebut harus diubah. Perubahan pola pikir seperti yang telah disebutkan diatas berawal dari individu. Kitalah yang seharusnya memulai, bukan menyuruh orang lain untuk memulai. Terlalu sulit bagi pemerintah untuk mengoptimalkan kemakmuran bagi rakyat karena persentase jumlah pemerintah yang lebih kecil dibandingkan masyarakat yang beranekaragam.
            Bagaimanapun, bertumbuh dan berkembangnya semangat bernegara dan kesadaran bela negara mensyaratkan adanya hubungan timbal balik antara pemerintah dengan rakyat. Pemerintah tidak bisa hanya sekedar menuntut rakyat tanpa menunjukan kinerja yang benar-benar baik, apalagi bahwa apa yang pemerintah perbuat memang semata-mata untuk kepentingan rakyat. Pemerintah harus mampu membuat rakyat merasakan bahwa pemerintah berbuat dan bekerja keras untuk rakyat. Rakyat harus merasakan manfaat dari semua yang diperbuat pemerintah sehingga rakyat mau berpartisipasi untuk membangun negara.  Ada kesadaran warga negara untuk ikhlas menanggung beban dari pembangunan yang digalakkan oleh pemerintah. Sebab, setiap warga negara tahu bahwa pemerintah berbuat maksimal untuk kepentingan rakyat.
            Dengan demikian diperlukan kerjasama antara pemerintah dengan rakyat. Seorang anak hendaklah berbakti kepada orang tuanya seperti halnya rakyat yang wajib menaati peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Di sisi lain, pemerintah sebagai orang tua harus senantiasa menyayangi anak-anaknya dengan memberikan kebijakan-kebijakan terbaik untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

BANGGA PADA BANGSA INDONESIA

Para pakar dunia di bidang ekonomi, politik, social, dan kebudayaan nampaknya telah terjebak dalam mempersepsikan tentang bangsa Indonesia. Dunia membayangkan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang bodoh dan pemalas, lingkungannya kumuh dan kotor, kejahatan terjadi di sana-sini, negeri yang penuh dengan kesemrawutan.
Padahal di muka bumi ini tak ada orang menjalani kehidupan dengan bersukaria melebihi orang Indonesia. Tak ada orang berjoget-joget ria siang malam melebihi orang Indonesia. Tak ada orang-orang yang tertawa-tawa, menghisap rokok klempas-klempus baaalll-buuulll dengan nikmatnya. Tak ada acara pesta-pesta, kumpul-kumpul, jagongan, kenduri, hajatan, serta segala macam bentuk kehangatan hidup macam orang kita. Karena budaya itu memang hanya ada di Indonesia.
Dunia bilang kita sedang krisis, padahal berita tentang krisis itu adalah suatu bentuk kerendahan hati Indonesia. Suatu sikap yang menghindarkan diri dari sikap sombong. Kalau kita mendengar berita bahwa pemerintah punya utang hingga trilyunan rupiah, itu sesungguhnya hanyalah taktik agar dunia meremehkan kita. Karena kita orang Indonesia punya pendirian bahwa semakin kita direndahkan, semakin tinggi derajat kita di hadapan Allah.
Banyak orang mengejek Indonesia dengan perkataan begini:
“Dulu Indonesia adalah gurunya Malaysia. Dalam banyak hal, Malaysia, sang adik, sering belajar dengan Indonesia, kakaknya yang serumpun, yang berwibawa dan disegani dunia.  Guru-guru Indonesia diserap oleh Malaysia. Dari pedagang kecil sampai Presiden belajar kepada Indonesia. Akan tetapi sekarang perkembangannya terbalik. Hari ini Indonesia tidak ada apa-apanya disbanding Malaysia. Dalam bidang pendidikan, pembangunan, peningkatan SDM-nya, ekonominya, dan di segala bidang Indonesia sudah ditinggal jauh. Sekarang bekas guru-guru yang dikirim ke Malaysia berganti jenjang menjadi ‘pendatang haram’ alias tenaga kerja illegal di Malaysia.”
Dan masih banyak lagi ejekan-ejekan lain yang merendahkan bangsa kita. Padahal jika kawan-kawan renungkan kita ini bangsa yang luar biasa mulianya. Malaysia kita ajarkan sampai mereka bias, sampai mereka maju dalam segala bidang, sampai-sampai mereka melampaui kita. Memang Malaysia adalah bangsa yang cerdas, tekun dalam mempelajari ajaran gurunya, sehingga mereka melampaui kemampuan gurunya.
Sedangkan kita sang guru, memang boleh kurang berhasil dari muridnya. Tapi, memang itulah yang terbaik. Seorang guru yang mulia memang harus memberikan semua ilmu yang dimilikinya sampai muridnya benar-benar pandai dan cerdas. Walaupun sang murid ternyata lebih pandai, tapi tak ada masalah. Karena memang bangsa kita adalah guru yang mulia, yang mendidik Malaysia tanpa pamrih, dengan segenap kemampuan yang kita miliki. Benar-benar sosok guru yang patut diteladani oleh yang lainnya.
Biasanya orang Indonesia bila diejek bahwa bangsa Indonesia dianggap sebagai bangsa yang rendah, dan tidak punya bakat untuk mengalami kemajuan yang berarti, mereka akan diam saja. Tak ada jawaban dan bantahan. Sehingga orang-orang di dunia ini yakin terhadap predikat bangsa Indonesia yang mereka ciptakan sendiri. Orang Indonesia tidak menjawab sebab jikalau menjawab akan diketahui siapa sebenarnya bangsa Indonesia bahwa sebenarnya bangsa Indonesia bangsa yang besar.

MASALAH KEMISKINAN DI INDONESIA


Di berbagai daerah dilaporkan banyak orang mati karena kelaparan. Berhari-hari mereka tidak makan, juga tertimpa gizi buruk. Kelaparan sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang aneh apalagi langka di negeri ini. Hampir disetiap pelosok negeri ini akan dengan mudah kita jumpai orang-orang miskin yang kelaparan, atau kurang makanan.
               Sebagai negara agraris, tanah kita dikenal sangat subur karena bisa ditanami sepanjang tahun. Lalu sumber daya alamnya melimpah. Di zaman Belanda, Indonesia menjadi produsen dan eksportir gula terefisien di dunia. Lalu di tahun 70-an, kita menjadi eksportir sapi. Nenek moyang kita juga pernah mengekspor beras ke China dan India. Lalu apa yang terjadi sekarang? Mengapa Indonesia sekarang ini menjadi negara yang miskin?
               Negeri ini sedang berada pada titik nadir. Berbagai masalah menimpa negeri ini silih berganti. Rakyat kecil menjerit, karena mereka adalah pihak-pihak yang paling merasakan penderitaan. Mulai dari bencana alam, harga bahan pangan pokok naik, pengangguran meningkat, biaya pendidikan mahal, dan masih banyak lagi penderitaan yang lain. Berbagai persoalan yang timbul tersebut telah mengakibatkan beban si miskin semakin berat.

Kebijakan yang Keliru

Ironisnya, para pejabat di negeri ini seakan-akan tidak peduli dengan nasib mereka. Mereka lebih senang mengurusi urusan mereka sendiri dibandingkan membela kepentingan rakyat. Akibat dari itu semua adalah pembuatan kebijakan yang hampir semuanya tidak berpihak pada rakyat. Akan tetapi sebaliknya, menjadikan rakyat menjadi lebih miskin. Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang hanya mementingkan pemilik modal untuk mengeruk sumber daya alam. Lihat saja, keputusan untuk menghentikan perusahaan tambang hanya setengah hati, peninjauan kembali UU Sumber Daya Air yang merupakan hak dasar manusia pun ditolak. Privatisasi Air pun jalan yang hanya menguntukkan pelaku bisnis dan penguasa. Perpres 36/ 2005 tentang tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. kepentingan siapa? Pemerintah menyatakan ini untuk kepentingan umum. Tapi, nyatanya penggusuran rakyat miskin terjadi dimana-mana, hampir semua kota di nusantara ini, dengan berdalih untuk kepentingan umum. Nyatanya untuk kepentingan investor dan penguasa. 
               Menurut Benny Susetyo, orang miskin langsung atau tidak, adalah korban ketidakadilan struktural yang menjadi jiwa dan semangat pembangunan bangsa hingga kini. Mereka tersingkir di antara gempita sedikit orang yang merasa beruntung bisa mengakses hasil-hasil pembangunan.
Kemiskinan adalah penyakit yang diderita bangsa ini sejak lama, tetapi ditutup-tutupi karena berbagai alasan politik dan kekuasaan. Sudah sejak dulu kemiskinan hanya dijadikan isu, tidak serius dicarikan jalan keluar untuk mengatasinya. Kemiskinan hanya dilihat sebagai isu untuk mencari dukungan politik.
Pengentasan kemiskinan bukanlah barang baru di negara ini. Sejak hanya disinggung sambil lalu dalam Pembangunan Nasional Berencana Delapan Tahun Orde Lama. Sekadar pelengkap REPELITA masa Orde Baru. Pemerintahan di era Reformasi ternyata tak jauh beda dengan pemerintahan Orba. Dalam tataran kenegaraan memang banyak terjadi perubahan; amandemen konstitusi, undang-undang baru dalam berbagai bidang dan demokratisasi politik prosedural. Namun mentalitas kekuasaan yang dipraktikkan oleh para politisi dan pejabat pemerintahan pada hakikatnya hampir tak berubah. Korupsi makin menjadi-jadi dan amat sulit untuk dihentikan. Anggaran pembangunan tetap lebih banyak tersedot untuk kebutuhan rutin birokrasi pemerintahan dan fasilitas mewah yang diterima wakil rakyat baik di DPR maupun DPRD. Sementara penanggulangan kemiskinan tak pernah menjadi program politik utama. Oleh karena itu, di era Reformasi, walaupun telah mengalami pergantian rezim sampai tiga kali, angka kemiskinan tak pernah berkurang dalam jumlah yang meyakinkan. Persentase kemiskinan memang tak setinggi pada masa awal krisis (1997-19998), namun persentase berkurangnya tingkat kemiskinan pun tak pernah drastis. Malahan dari berbagai rezim di era Reformasi, angka kemiskinan cenderung naik turun.
Di era reformasi, untuk mengatasi masalah government failure tentulah tidak cukup dengan membuat kebijakan semata. Artinya, para elite negara ketika memutuskan suatu kebijakan untuk  masyarakat miskin, tidak cukup hanya dicanangkan, dideklarasikan, atau bahkan ditulis dalam perundang-undangan. Namun, semua kebijakan tersebut harus dikawal dengan ketat di lapangan, dipantau, dan dievaluasi sendiri oleh pejabat yang mengeluarkannya agar tidak terjadi penyelewengan.
Kita dalam ancaman serius akan kehilangan generasi mendatang tanpa upaya serius mengatasi masalah ini. Bila politisi masih bertengkar soal jabatan dan memanfaatkan isu orang miskin untuk kekuasaan, maka jangan harap permasalahan di negeri ini akan tuntas.

MENCARI PARADIGMA BARU BAGI PENDIDIKAN UNIVERSITAS




                Pendidikan tinggi (PT) sekarang ini telah kehilangan jiwanya, yang dulu mampu mencerahi, menyadarkan dan menantang kreativitas dari semua penikmatnya, sekarang menjadi terkepung oleh berbagai tuntutan, dengan munculnya masyarakat yang kapitalis, sehingga pandangan mereka pun tak jauh dari pertimbangan materialistik.
Drost (1999) menguraikan ambiguitas pendidikan kita saat ini, khususnya universitas. Menurutnya universitas saat ini mempunyai dua sisi, yang pertama pada hakekatnya merupakan “lingkungan hidup bernalar untuk memanusiakan manusia sesuai dengan citra manusia masa kini dan dengan demikian membentuk para mahasiswa menjadi manusia demi manusia lain dalam hidup profesi masing-masing”. Di sisi lain adalah bahwa praktik penyelenggaraan universitas sekarang telah “menyimpang” dari hakekat sebuah universitas seperti diuraikan di atas.
                Berbagai guncangan yang melanda PT menyebabkan visi dari PT itu sendiri selalu berubah-ubah. Jika dahulu penyelenggaraan pendidikan universitas dalam rangka membentuk para mahasisiwa menjadi manusia demi manusia lain, maka yang terjadi sekarang yaitu bahwa PT lebih berupaya untuk menyiapkan para mahasiswanya agar membekali dirinya dengan keahlian-keahlian untuk bersaing di dunia usaha.
Cara pandang universitas terhadap warganya sendiri siapapun yang cerdas dan cermat pastinya akan menemukan realita bahwa mahasiswa sekarang dipandang tak lebih sebagai komunitas yang menjadi sumber pendapatan terbesar bagi universitas, dan dosen yang profesor maupun doctor sekalipun tak ubahnya sebagai alat produksi. Segala sistemasi kurikulum, dan metode pengajaran serta segala fasilitas laboratorium dan perpustakaan, disediakan pertama-tama dalam rangka perebutan calon-calon mahasiswa. Dan setelah masa studi berakhir, universitas segera menyerahkan generasi muda ini ke dalam kompetisi yang berat-bahkan kadang kejam-, yaitu dunia kerja.
Lembaga Pelatihan Tenaga Kerja
Disadari atau tidak, universitas kita saat ini telah bertransformasi menjadi lebih menyerupai lembaga pelatihan tenaga kerja yang dibutuhkan utamanya oleh dunia industri. Akan tetapi, atribut universitas sebagai lembaga pelatihan tenaga kerja itu pun tidak sepenuhnya benar, mengingat alumni para lulusan universitas pun masih memerlukan pelatihan tenaga kerja terapan ketika memasuki dunia kerja. Gejala tersebut tentunya menjadi tidak sejalan dengan pernyataan Drost diatas.
  Tingkat keterserapan ke dunia kerja agaknya telah menjadi tujuan tunggal penyelenggaraan pendidikan PT. Akuntabilitas publik terhadap PT diukur oleh tingkat keterserapan lulusan ke dunia kerja. Jika banyak lulusan dari sebuah institusi PT menganggur, penilaian publik akan mendakwa PT tersebut tidak akuntabel.
Di sinilah letak permasalahannya, para pelaku pasar kerja terus-menerus menuntut suatu standar kualifikasi dari lulusan PT. Kualifikasi tersebut terus-menerus berubah sesuai dinamika globalisasi. Meskipun demikian, para pengelola PT tetap melakukan penyesuaian dengan maksud menghasilkan lulusan yang memenuhi tuntutan kualifikasi para pelaku pasar kerja. Tentu saja banyak lulusan yang dianggap tidak memenuhi standar pasar kerja oleh pelaku pasar kerja, karena memang sebenarnya tidak pernah ada suatu standar khusus tentang kualifikasi lulusan yang dibutuhkan pasar kerja. Di sinilah letak ketidaksinambungan antara PT yang terus memacu kualitas lulusannya untuk memenuhi standar yang berlaku, dengan pasar kerja yang tidak mempunyai standar khusus tentang kualifikasi tenaga kerja.
Pada era sekarang ini, PT kehilangan paradigma pendidikan agaknya disebabkan bukan hanya oleh tuntutan-tuntutan kualifikasi pasar tenaga kerja yang terus berubah, tetapi juga oleh perubahan tuntutan masyarakat, yang telah merubah konsepsinya atas standar keberhasilan maupun kegagalan dalam proses pendidikan karena memandang pendidikan semata-mata sebagai sebuah investasi ekonomi. Banyak orang-orang mengaharapkan anak-anak mereka mengembalikan investasi tersebut setelah mereka lulus. Atau dengan kata lain, mereka menuntut PT menyelenggarakan pendidikan dengan penerapan derajat keterserapan ke dunia kerja yang baik, sehingga setelah mahasiswa-mahasiswa tersebut menyelesaikan studi mereka, anak-anak muda ini dapat segera memperoleh sesuai tingkat pendidikannya secara memadai.
Kemudian pertanyaan selanjutnya, benarkah perubahan dan ambiguitas visi universitas disebabkan karena perubahan dunia kerja yang hiperdinamis? Berbagai perubahan dalam dunia kerja muncul karena perkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan berbagai teknologi yang mendorong kemajuan ekonomi. Sebagai bukti dari kemajuan peradaban manusia, perkembangan tersebut tak dapat terhindarkan. Ia adalah fakta yang memang secara radikal telah mengubah cara pandang atas manusia, menggoyahkan visi universitas, dan mendesakkan paradigma baru penyelenggaraan pendidikan sebagai investasi ekonomi. Jadi, tidak tepat jika dikatakan bahwa dunia kerja menyebabkan ambiguitas visi universitas.
 Sebagai realitas masa kini, dinamika dunia kerja dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memicu perubahan-perubahan di tubuh universitas. Akan tetapi, bahwa visi universitas menjadi ambigu lebih disebabkan oleh tak adanya tetapan linear di dalam proses penyelenggaraan universitas, yaitu tetapan yang dapat dipakai sebagai pedoman tentang bagaimana universitas harus menyikapi berbagai perubahan tersebut.
Mencari Paradigma Baru
Usaha mencari paradigma baru bagi pendidikan universitas kita perlu memperhatikan beberapa hal, pertama bahwa kemajuan (modernity) dan proses kemajuan (modernitas) di dunia industry, teknologi dan informasi mau tak mau telah memberikan konsekuensi kearah perubahan dan kecenderungan di dunia pendidikan dewasa ini.
                Kedua, karena dampak-dampak kemajuan dan prosesnya tak mungkin dapat ditolak dan dihindari. Adalah sungguh naif keinginan untuk kembali kepada suasana universitas yang murni bervisi hakiki. Upaya kembali ke arah tersebut justru mempertajam segmentasi dalam masyarakat karena mengingkari realitas yang ada sekarang ini.
                Ketiga ,bahwa keambiguan visi universitas lebih disebabkan karena tidak adanya tetapan linear dalam proses penyelenggaraan universitas tentang bagaimana menyikapi berbagai perubahan tersebut.
                Untuk itu, dalam proses pencarian paradigma yang baru, adalah sulit untuk kembali mengembalikan paradigma yang semula ditetapkan universitas, yaitu yang murni bervisi hakiki. Maka yang dapat dilakukan adalah menyesuaikan paradigma pendidikan sesuai dengan relitas masa kekinian. Hal ini bukanlah berarti bahwa paradigma tersebut tidak semata-mata mengakomodasi dan merefleksikan tuntutan pasar tenaga kerja, yang menuntut lulusan universitas harus sesuai dengan kualifikasi yang telah ditetapkan. Akan tetapi, juga mempertimbangkan konsep universitas seperti pandangan Drost di atas serta jangan melupakan visi universitas yang hakiki. Di samping itu, haruslah dibuat suatu tetapan linear dalam proses penyelenggaraan untuk menyikapi berbagai perubahan. Jika tak ingin visi universitas menjadi semakin jauh dari visinya yang hakiki.
                        

PERSAMAAN GENDER DALAM KACAMATA AGAMA DAN BUDAYA



Kesetaraan gender telah menjadi wacana publik, terutama bila menyangkut masalah hak, status, dan kedudukan perempuan. Masalah ini tidak hanya menjadi masalah di Indonesia saja, tetapi juga negara-negara modern di Eropa dan juga Amerika Serikat. masalah diskriminasi perempuan pun masih saja tetap muncul sampai sekarang.
            Meskipun masalah kesetaraan gender telah menjadi wacana yang luas, namun dalam realitanya masih banyak perempuan yang mengalami diskriminasi. Oleh karena itu, perhatian yang lebih untuk masalah ini masih tetap dilakukan. Sebab, tantangan yang dihadapi perempuan tidak hanya datang dari perspektif agama saja, tetapi juga budaya. Dalam pemahaman yang sempit tentang ajaran agama, Kedudukan kaum perempuan tidak setara dengan laki-laki. Demikian pula dalam budaya tertentu, perempuan menempati kedudukan yang rendah dalam masyarakat.
             Dari sudut agama Islam misalnya, Islam memiliki pandangan yang khas dan berbeda dalam melihat dan menyelesaikan masalah perempuan. Termasuk di dalam memandang hakikat politik dan kiprah politik di dalam masyarakat Hal ini terkait dengan pandangan mendasar Islam tentang keberadaan laki-laki dan perempuan di dalam bermasyarakat. Sebagaimana kita ketahui, Islam memandang perempuan pada hakikatnya sama dengan laki-laki, yakni sama-sama sebagai hamba Allah yang memiliki akal, naluri dan kebutuhan fisik. Sedangkan dalam konteks mayarakat, Islam memandang bahwa keberadaan perempuan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan oleh laki-laki. Keduanya diciptakan Yang Maha Kuasa untuk mengemban tanggung jawab menjalani kehidupan ini sesuai kehenadak Allah sebagai pencipta dan pengatur makhluk-Nya (QS. 9:71, 51:56).
            Islam telah memberi aturan yang lebih rinci berkenaan dengan peran dan fungsi masing-masing dalam menjalani kehidupan ini. Adakalanya sama dan adakalanya berbeda. Hanya saja perbedaan dan persamaan pada pembagian peran dan fungsi masing-masing ini tidak bisa dipandang sebagai kesetaraan atau ketidaksetaraan gender. Pembagian tersebut semata-mata merupakan pembagian tugas dalam upaya mewujudkan kehiduan bermasyarakat.
Karena adanya implementasi yang salah dari ajaran agama tersebut yang di sebabkan oleh pengaruh faktor sejarah, lingkungan budaya dan tradisi yang patriarkat di dalam masyarakat, sehingga menimbulkan sikap dan perilaku individual yang secara turun-temurun menentukan status kaum perempuan dan ketimpangan jender tersebut. Hal inilah yang kemudian menimbulkan mitos-mitos salah yang disebarkan melalui nilai-nilai dan tafsir-tafsir ajaran agama yang keliru mengenai keunggulan kaum lelaki dan melemahkan kaum perempuan.
Menurut D.R. Nasaruddin Umar dalam "Jurnal Pemikiran Islam tentang Pemberdayaan Perempuan" (2000), Setidaknya ada dua pandangan dasar yang menyebabkan munculnya ketidakadilan terhadap perempuan. Pertama, keyakinan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, sehingga perempuan dianggap sebagai mahluk kedua yang tidak akan mungkin ada tanpa kehadiran laki-laki. karenanya keberadaan perempuan hanya sebagai pelengkap dan diciptakan hanya untuk tunduk di bawah kekuasaan laki-laki. Kedua, keyakinan bahwa perempuan sebagai sumber dari terusirnya manusia (laki-laki) dari surga, sehingga perempuan dipandang dengan rasa benci, curiga dan jijik, bahkan lebih jauh lagi perempuan dianggap sebagai sumber malapetaka bagi umat manusia
Demikian pula halnya dengan kontruksi budaya kita yang masih bersifat partiarkhi.  Munculnya diskriminasi terhadap perempuan biasanya dipengaruhi oleh keadaan dan adat istiadat masyarakat setempat, baik sosial maupun ekonomi termasuk untuk tujuan politik. Kultur patriarkhi ini secara nyata turut mengambat proses perjuangan kesetaraan gender di tengah kehidupan bermasyarakat. Dalam kondisi tertentu perempuan seringkali dianggap sebagai warga negara kelas dua. Dalam masyarakat jawa misalnya, perempuan seringkali digambarkan sebagai “konco wingking”. Artinya, perempuan hanya ikut laki-laki, sehingga tidak memiliki daya tawar yang kuat dalam suatu rumah tangga.
Salah satu upaya penting untuk paling tidak meminimalkan diskriminasi perempuan yaitu dengan mendekonstruksi kembali budaya kita yang masih bersifat partiarkhi. Adapun pelaksanaannya bisa dimulai dari lingkup yang paling kecil yaitu keluarga. Melalui keluarga inilah kita dapat membentuk sikap kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan. Komitmen terhadap proses kesetaraan gender kemudian diperluas melalui kehidupan bernegara. Pemerintah sebagai penyelenggara negara memberikan perlindungan, perlakuan dan kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan.
Dalam keadaannya sekarang ini yang terdiskriminasi, maka perempuan harus menyadari bahwa ini bukanlah perjuangan melawan laki-laki dengan tujuan kalah-menang dan demikian halnya laki-laki harus belajar bahwa perlawanan terhadap budaya patriarkhi bukan hanya pembebasan untuk perempuan, melainkan juga pembebasan untuk laki-laki.

MASALAH KEMISKINAN DI INDONESIA


Di berbagai daerah dilaporkan banyak orang mati karena kelaparan. Berhari-hari mereka tidak makan, juga tertimpa gizi buruk. Kelaparan sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang aneh apalagi langka di negeri ini. Hampir disetiap pelosok negeri ini akan dengan mudah kita jumpai orang-orang miskin yang kelaparan, atau kurang makanan.
               Sebagai negara agraris, tanah kita dikenal sangat subur karena bisa ditanami sepanjang tahun. Lalu sumber daya alamnya melimpah. Di zaman Belanda, Indonesia menjadi produsen dan eksportir gula terefisien di dunia. Lalu di tahun 70-an, kita menjadi eksportir sapi. Nenek moyang kita juga pernah mengekspor beras ke China dan India. Lalu apa yang terjadi sekarang? Mengapa Indonesia sekarang ini menjadi negara yang miskin?
               Negeri ini sedang berada pada titik nadir. Berbagai masalah menimpa negeri ini silih berganti. Rakyat kecil menjerit, karena mereka adalah pihak-pihak yang paling merasakan penderitaan. Mulai dari bencana alam, harga bahan pangan pokok naik, pengangguran meningkat, biaya pendidikan mahal, dan masih banyak lagi penderitaan yang lain. Berbagai persoalan yang timbul tersebut telah mengakibatkan beban si miskin semakin berat.

Kebijakan yang Keliru

Ironisnya, para pejabat di negeri ini seakan-akan tidak peduli dengan nasib mereka. Mereka lebih senang mengurusi urusan mereka sendiri dibandingkan membela kepentingan rakyat. Akibat dari itu semua adalah pembuatan kebijakan yang hampir semuanya tidak berpihak pada rakyat. Akan tetapi sebaliknya, menjadikan rakyat menjadi lebih miskin. Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang hanya mementingkan pemilik modal untuk mengeruk sumber daya alam. Lihat saja, keputusan untuk menghentikan perusahaan tambang hanya setengah hati, peninjauan kembali UU Sumber Daya Air yang merupakan hak dasar manusia pun ditolak. Privatisasi Air pun jalan yang hanya menguntukkan pelaku bisnis dan penguasa. Perpres 36/ 2005 tentang tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. kepentingan siapa? Pemerintah menyatakan ini untuk kepentingan umum. Tapi, nyatanya penggusuran rakyat miskin terjadi dimana-mana, hampir semua kota di nusantara ini, dengan berdalih untuk kepentingan umum. Nyatanya untuk kepentingan investor dan penguasa.  
               Menurut Benny Susetyo, orang miskin langsung atau tidak, adalah korban ketidakadilan struktural yang menjadi jiwa dan semangat pembangunan bangsa hingga kini. Mereka tersingkir di antara gempita sedikit orang yang merasa beruntung bisa mengakses hasil-hasil pembangunan.
Kemiskinan adalah penyakit yang diderita bangsa ini sejak lama, tetapi ditutup-tutupi karena berbagai alasan politik dan kekuasaan. Sudah sejak dulu kemiskinan hanya dijadikan isu, tidak serius dicarikan jalan keluar untuk mengatasinya. Kemiskinan hanya dilihat sebagai isu untuk mencari dukungan politik.
Pengentasan kemiskinan bukanlah barang baru di negara ini. Sejak hanya disinggung sambil lalu dalam Pembangunan Nasional Berencana Delapan Tahun Orde Lama. Sekadar pelengkap REPELITA masa Orde Baru. Pemerintahan di era Reformasi ternyata tak jauh beda dengan pemerintahan Orba. Dalam tataran kenegaraan memang banyak terjadi perubahan; amandemen konstitusi, undang-undang baru dalam berbagai bidang dan demokratisasi politik prosedural. Namun mentalitas kekuasaan yang dipraktikkan oleh para politisi dan pejabat pemerintahan pada hakikatnya hampir tak berubah. Korupsi makin menjadi-jadi dan amat sulit untuk dihentikan. Anggaran pembangunan tetap lebih banyak tersedot untuk kebutuhan rutin birokrasi pemerintahan dan fasilitas mewah yang diterima wakil rakyat baik di DPR maupun DPRD. Sementara penanggulangan kemiskinan tak pernah menjadi program politik utama. Oleh karena itu, di era Reformasi, walaupun telah mengalami pergantian rezim sampai tiga kali, angka kemiskinan tak pernah berkurang dalam jumlah yang meyakinkan. Persentase kemiskinan memang tak setinggi pada masa awal krisis (1997-19998), namun persentase berkurangnya tingkat kemiskinan pun tak pernah drastis. Malahan dari berbagai rezim di era Reformasi, angka kemiskinan cenderung naik turun.
Di era reformasi, untuk mengatasi masalah government failure tentulah tidak cukup dengan membuat kebijakan semata. Artinya, para elite negara ketika memutuskan suatu kebijakan untuk  masyarakat miskin, tidak cukup hanya dicanangkan, dideklarasikan, atau bahkan ditulis dalam perundang-undangan. Namun, semua kebijakan tersebut harus dikawal dengan ketat di lapangan, dipantau, dan dievaluasi sendiri oleh pejabat yang mengeluarkannya agar tidak terjadi penyelewengan.
Kita dalam ancaman serius akan kehilangan generasi mendatang tanpa upaya serius mengatasi masalah ini. Bila politisi masih bertengkar soal jabatan dan memanfaatkan isu orang miskin untuk kekuasaan, maka jangan harap permasalahan di negeri ini akan tuntas.