Senin, 06 Desember 2010

MEWUJUDKAN MASYARAKAT MADANI


Masyarakat madani atau civil society merupakan konsep yang memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Secara harfiah, civil society adalah terjemahan dari istilah Latin, civilis societas, yang mula-mula dipakai oleh Cicero (106-43 S.M), seorang pujangga Roma, yang pengertiannya mengacu kepada gejala budaya perorangan dan masyarakat. Menurutnya masyarakat sipil disebut sebagai sebuah masyarakat politik (political society) yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup. Adanya hukum yang mengatur pergaulan antar individu menandai adanya suatu jenis masyarakat tersendiri.
Locke mendefinisikan masyarakat madani sebagai "masyarakat politik" (political society) Dengan istilah yang berbeda-beda, civil society mengalami evolusi pengertian yang berubah dari masa ke masa. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes place outside of government and the market.”
Di zaman pencerahan dan modern, istilah civil society dibahas oleh para filsuf dan tokoh-tokoh ilmu-ilmu sosial seperti Locke, Hobbes, Ferguson, Rousseau, Hegel, Tocquiville, Gramsci, Hebermas, Dahrendorf, Gellner dan di Indonesia dibahas oleh Arief Budiman, Amien Rais, Fransz Magnis Suseso, Ryaas Rasyid, AS. Hikam, Mansour Fakih.
Ciri dari suatu masyarakat sipil menurut Daniel Sparringa, selain terdapatnya tata kehidupan politik yang terikat pada hukum, juga adanya kehidupan ekonomi yang didasarkan pada sistem uang sebagai alat tukar, terjadinya kegiatan tukar menukar atau perdagangan dalam suatu pasar bebas, demikian pula terjadinya perkembangan teknologi yang dipakai untuk mensejahterakan dan memuliakan hidup sebagai ciri dari suatu masyarakat yang telah beradab.
Mewujudkan masyarakat madani adalah membangun suatu masyarakat yang tidak hanya sekedar membangun adab dan tradisi masyarakat lokal, tetapi lebih dari itu adalah membangun masyarakat yang berbudaya agamis sesuai keyakinan individu, masyarakat berbudaya yang saling cinta dan kasih yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan .
Isu tentang masyarakat madani semakin marak akhir-akhir ini seiring dengan bergulirnya proses reformasi di Indonesia. Proses ini ditandai dengan munculnya tuntutan kaum reformis untuk mengganti Orde Baru yang berusaha mempertahankan tatanan masyarakat yang status quo menjadi tatanan masyarakat yang madani.
Untuk mewujudkan masyarakat madani tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Namun, memerlukan proses panjang dan waktu serta menuntut komitmen masing-masing warga negara ini untuk berubah secara total dan konsisten dalam suatu perjuangan yang gigih. Seperti yang kita ketahui, Indonesia adalah negara multietnik dan multikultur. Oleh karena itu adalah tidak mudah untuk menyatukan pandangan dan sikap mereka yang sesuai dengan cita-cita reformasi, yaitu mewujudkan suatu masyarakat madani.
Setelah sepuluh tahun pemerintahan Soeharto tumbang, yang berarti sudah sepuluh tahun agenda reformasi dicanangkan, tatanan negara ini ternyata masih berjalan di tempat. Krisis yang telah menjangkit seakan enggan menjauh.
Indonesia yang tak pernah bisa sepenuhnya bangkit dari hantaman krisis multidimensi di tahun 1997, terus-menerus harus berhadapan dengan krisis politik, keamanan, sosial, dan yang paling akut adalah krisis ekonomi. Sejak berakhirnya era Orde Baru, Indonesia telah mengalami beberapa kali pergantian pemerintahan, namun situasi tak kunjung membaik. Rupanya, reformasi yang dirancang kaum intelektual Indonesia tak cukup kuat untuk membangun sebuah good governance. Periode sepuluh tahun yang berlalu ternyata hanya sia-sia belaka.
Untuk itu, good governance hanya bisa tercipta melalui pemerintahan yang kuat dan terkonsolidasinya masyarakat madani (civil society) sebagai penyeimbang negara. Alhasil, persoalan mendesak yang dihadapi bangsa ini adalah penataan kembali sistem kelembagaan politik, publik, dan sosial kemasyarakatan. Penataan ini harus dibarengi pula dengan pemahaman dan penyatuan pandangan terhadap nilai-nilai religius, etika, dan moral dalam diri setiap warga negara.
Daftar Pustaka:  


    Soetrisno, Loekman.1998. Menuju masyarakat madani: strategi dan agenda reformasi. Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan & Kawasan UGM: Yogyakarta.

   Sparinga, Daniel. 2000. Menyelamatkan Masa Depan Indonesia. Kompas: Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar