Senin, 06 Desember 2010

TANTANGAN PENDIDIKAN KARAKTER DI MASA DEPAN


Kehidupan di era globalisasi seperti saat ini telah menjadikan dunia begitu cepat berubah. Berbagai penemuan di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan yang bertubi-tubi membuat laju dunia menjadi tak terbendung. Namun seiring dengan berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan, kerusakan bumi pun mencapai tingkat yang mengejutkan. Situasi yang saling kontradiktif dan tidak tertebak ini membuat orang sulit untuk membayangkan kehidupan seperti apa yang akan dihadapi di masa mendatang. Ada bahaya besar yang akan mengancam generasi mendatang, yaitu antara lain: ancaman akan tersingkirkan jika tidak mampu bersaing dalam persaingan global, ancaman akan menjadi robot-robot pesanan dunia jika tidak mampu mengembangkan potensinya dalam kebebasannya, ancaman akan kehilangan dunia tempat tinggalnya jika tidak mampu mengelolanya dengan baik dan tepat sesuai dengan visi kemanusiaan.
Di dalam konteks kalangan universitas pun akan muncul berbagai persoalan dan tantangan yang harus dihadapi, antara lain: persaingan dalam rangka memperoleh mahasiswa seiring dengan meningkatnya kuantitas dan kualitas universitas-universitas di Indonesia. Tentu saja semangat yang dikedepankan dalam persaingan ini bukan dilekatkan pada universitas, melainkan pada mahasiswa sendiri. Universitas berkeyakinan bahwa mahasiswa berhak mendapatkan kualitas pendidikan yang terbaik. Persaingan dengan universitas-universitas lainnya dipandang sebagai dorongan untuk memotivasi setiap unsur di dalam universitas tersebut untuk memberikan yang terbaik. Dalam menghadapi persaingan global, universitas tidak lagi bersaing dengan ‘pesaing’ lokal, tetapi dengan pesaing dari negara bahkan belahan bumi yang lain. Isu mengenai perdagangan bebas dengan China yang marak dibicarakan beberapa waktu belakangan ini harus dianggap sebagai peringatan bahwa situasi ke depan dapat berkembang ke arah kebijakan perdagangan bebas yang jauh lebih menantang dan ‘mengancam’.
Pemahaman mengenai pentingnya prestasi akademis memang tidak perlu disingkirkan. Dalam persaingan global, kemampuan akademis menjadi salah satu bekal penting yang harus dimiliki oleh para lulusan. Namun melalui pendidikan karakter, pencapaian yang diharapkan adalah melampaui prestasi akademik. Dalam buku The Leader in Me, dengan mengutip buku “good to great” karya Jim Collins, Stephen Covey mencoba menggambarkan bahwa kemampuan dan keterampilan praktis memang penting namun dapat dipelajari.
Sedangkan dimensi karakter, etos kerja, kecerdasan dasar, dedikasi pada komitmen dan nilai merupakan suatu hal yang lebih mendalam. Covey bahkan mengutip pendapat seorang pebisnis yang mengatakan bahwa ”keterampilan adalah alasan untuk mewawancarai seseorang. Namun, alasan untuk merekrut orang adalah karakter mereka.” (Covey : 40) dengan program-program unggulan yang ditawarkan oleh tiap-tiap kompleks universitas, program-program tersebut tentu tidak perlu diganti menjadi program-program yang ‘bernuansa’ karakter. Artinya, ‘jenis’ program dan kegiatan yang dilakukan tetap sama. Hanya perbedaannya terletak pada penekanan yang diberikan.
Sejak tahun 1990-an, terminologi pendidikan karakter mulai ramai dibicarakan. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya melalui karya yang sangat memukau, The Retrun of Character Education. Sebuah buku yang menyadarkan dunia barat secara khusus di mana tempat Lickona hidup, dan dunia pendidikan secara umum, bahwa pendidikan karakter adalah sebuah keharusan. Inilah awal kebangkitan pendidikan karakter. Karakter sebagaimana didefinisikan oleh Ryan dan Bohlin, mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Dalam pendidikan karakter, kebaikan itu seringkali dirangkum dalam sederet sifat-sifat baik. Dengan demikian, pendidikan karakter adalah sebuah upaya untuk membimbing perilaku manusia menuju standar-standar baku. Upaya ini juga memberi jalan untuk menghargai persepsi dan nilai-nilai pribadi yang ditampilkan di sekolah. Fokus pendidikan karakter adalah pada tujuan-tujuan etika, tetapi prakteknya meliputi penguatan kecakapan-kecakapan yang penting yang mencakup perkembangan sosial peserta didik (Suprapto, 2007).
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, seseorang akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan seseorang untuk menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis (Russell T. William & Ratna Megawangi, 2007).
Dalam kerangka Pendidikan Karakter, cita-cita dan masa depan mahasiswa menjadi penting dan mendesak untuk diberi tempat dalam proses pembelajaran yang dilakukan. Prestasi akademis memang patut diperjuangkan dan juga dibanggakan, namun dengan syarat bahwa prestasi akademik tersebut membawa dampak positif bagi kehidupan umat manusia. Ini ibarat penemuan pesawat penumpang tercanggih yang dapat mendarat di matahari. Pesawat tersebut hanya dapat ditempatkan di museum untuk ditonton dan dikagumi saja. Manfaatnya tidak ada, karena saat ini tidak ada orang yang berencana untuk pergi ke matahari. Perkembangan ilmu pengetahuan memang harus dimaksudkan untuk menolong kehidupan umat manusia. Penemuan apapun tidak akan ada manfaatnya jika tidak bertujuan untuk memajukan kehidupan umat manusia. Bahkan beberapa kasus yang terjadi beberapa waktu belakangan ini serta beberapa penelitan yang dilakukan memperlihatkan pemanfaatan teknologi dan ilmu pengetahuan yang justru mengarah pada penghancuran kehidupan manusia. Berbagai ancaman gerakan teroris, pemanfaatan nuklir sebagai senjata penghancur, pemakaian mesin-mesin dengan emisi tinggi, pemakaian freon secara berlebihan, limbah serta sampah anorganik yang tidak dapat didaur ulang. Kepincangan dalam dunia pendidikan kita membuat kemajuan teknologi dan pengetahuan segera diiringi oleh berkembang pesatnya krisis di berbagai bidang kehidupan. Ironisnya, manusia masih terus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa pernah mampu menjawab berbagai krisis tersebut. Manusia zaman ini sepertinya lupa bahwa beberapa dekade ke depan masih akan ada generasi berikutnya yang akan hidup di bumi yang sama. Ini berkaitan dengan visi dan misi untuk berbagi, tidak hanya berbagi dengan sesama pada zaman ini, tetapi juga berbagi dengan sesama pada zaman berikutnya.
Prestasi akademis, dengan demikian, akan diberikan acungan jempol tatkala orang lain dapat turut merasakan manfaat dari prestasi tersebut. Banyak hal yang dapat dikedepankan saat seseorang meraih prestasi akademis. Kisah perjuangannya tentu dapat menjadi suatu pembelajaran yang akan memotivasi orang lain.
Menurut Doni Koesoema, dalam mengimplementasikan pendidikan karakter di universitas kiranya metodologi yang dipergunakan harus memiliki unsur-unsur antara lain: pengajaran nilai tertentu, keteladanan, pembangunan budaya yang kondusif, serta refleksi/evaluasi.
Namun kunci utamanya adalah penghargaan atas kebebasan serta keberagaman, dimana ruang interaksi tercipta sehingga proses pembelajaran tidak terjebak menjadi suatu indoktrinasi nilai. Dalam suasana keterbukaan tersebut, kesediaan untuk mengevaluasi diri serta mengembangkan diri harus dimiliki oleh setiap individu. Usaha sekecil apapun dalam kerangka proses itu pun harus dihargai. Dalam suasana seperti ini niscaya pendidikan karakter dapat berjalan menuju arah yang diharapkan bersama.
Semoga pendidikan karakter tidak berhenti hanya wacana.. Banyak yang dihasilkan perguruan tinggi, oleh sekolah-sekolah kejuruan, oleh balai-balai latihan kerja, tidak selalu sesuai dengan yang diminta pasar tenaga kerja. Lagi-lagi hanya soal pekerjaan, lalu di mana pendidikan karakter? Who knows?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar